MAHASISWA DAN DEMOKRASI
MAHASISSWA DAN DEMOKRASI
( Moh Hayat )
Perguruan tinggi merupakan tempat berkumpulnya para cendikiawan yang
terdiri dari orang-orang berpendidikan yang intelektual pemikirannya lebih
kritis dan analisis. Di dalam demokratisasi kampus, orang-orang yang seperti
inilah yang dibutuhkan untuk mewujudkan suatu pemerintahan mahasiswa yang
tangguh.
Pengertian Demokrasi
Menurut P. Sharma dalam bukunya
yang berjudul ‘Sistem Demokrasi yang Hakiki’, demokrasi merupakan gagasan yang
mengutamakan kepentingan rakyat dalam mendukung jalannya suatu pemerintahan.
Gagasan ini kemudian diadopsi oleh bentuk pemerintahan mahasiswa termasuk di
tataran lembaga kedaulatan tingkat Fakultas Pertanian (FP). Demokrasi itu
sendiri memiliki pandangan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.
Idealnya, dengan adanya prinsip
demokrasi ini diharapkan terciptanya iklim yang harmonis, dinamis dan
bertanggung jawab. Untuk itu perlu adanya kesadaran dari mahasiswa sebagai
kalangan intelektual, agar lebih peka terhadap perubahan kondisi yang terjadi
disekitarnya. Hal itu pulalah yang mengantarkan mahasiswa pada predikat sosial
yang disandangnya sebagai agent of change dan social control.
Mahasiswa Saat Ini
Pendidikan demokrasi oleh
mahasiswa dapat dilaksanakan dalam berbagai kesempatan. Seperti pada ajang
pemilihan dekan FP tahun lalu dimana hal itu merupakan moment yang
disebut-sebut sebagai pesta demokrasi. Sayangnya pada pesta tersebut, respon
dari para mahasiswa tidak menunjukkan animo yang tinggi. “Mahasiswa belum
terlalu sadar akan perlunya atmosfer demokrasi kampus. Karena di dalam proses
demokratisasi itu sendiri, dituntut untuk adanya tanggung jawab” tutur Presiden
BEM Pertanian, Anggry Solihin. Padahal dalam pesta demokrasi tersebut, suara
dan pemikiran mahasiswa sangat dibutuhkan untuk menentukan arah dan bentuk
pendidikan di Fakultas Pertanian ke depan.
Sangat dilematis ketika realita
kondisi mahasiswa saat ini dikekang oleh berbagai kesibukan akademis. Paradigma
lulus cepat sangat mendominasi sebagian besar pemikiran mahasiswa. Bahwa,
parameter mahasiswa dikatakan pandai adalah bila ia mampu lulus dengan masa
studi yang relatif singkat. Paradigma yang berlaku saat ini agaknya makin
menjauhkan peran sosial mahasiswa terhadap realita kehidupan masyarakatnya.
Demokratisasi FP
Unsur-unsur pelaksana demokrasi
di tataran kampus terutama FP pada khususnya, dilaksanakan oleh sistem
organisasi Lembaga Kedaulatan Mahasiswa (LKM). Dengan melibatkan mahasiswa
secara umum sebagai pelaku sekaligus kontrol dari sistem yang berjalan.
Diantaranya yang termasuk ke dalam LKM FP meliputi Badan Eksekutif Mahasiswa
(BEM), Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM), serta Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ)
maupun unit aktivitas mahasiswa lainnya.
Sebagai penyalur aspirasi
mahasiswa, nyatanya lembaga tertinggi baik eksekutif maupun legislatif tidak
mampu menciptakan perubahan ke arah yang lebih baik terkait dengan perbaikan
iklim demokrasi di lingkungan FP. Selain kinerja BEM yang tidak jauh dari
kegiatan kepanitiaan, sudah bukan merupakan hal yang asing lagi bila sepanjang
kepengurusan, ruangan DPM tampak sunyi dan selalu tertutup rapat. Lalu, seperti
apakah mahasiswa akan menyampaikan aspirasinya?
Sementara itu, mahasiswa masih
tetap dengan sikap apatisnya menjalankan rutinitas akademis. Jika dilihat dari
ajang pemilihan dekan yang lalu, ternyata banyak keganjilan yang terjadi.
Seperti yang dikeluhkan Anggry saat menghadiri rapat senat pada waktu pemilihan
dekan lalu, “saya tidak dianggap, malah para senat yang terdiri dari para guru
besar itu tidak memulai rapatnya gara-gara saya adalah mahasiswa. Padahal saya
hanya ingin menyampaikan aspirasi dari mahasiswa.”
Disamping itu, sistem yang
diterapkan pada pemilihan dekan masih jauh dari konsep demokrasi. Berdasarkan
pada sistem pemilihan, penjaringan dilakukan melalui dua tingkat. Penjaringan
tingkat pertama yaitu penjaringan suara ditataran dosen, karyawan, dan
mahasiswa. Dilanjutkan pada tingkat kedua yaitu pengambilan keputusan akhir
oleh senat yang terdiri dari guru besar FP.
Ternyata penjaringan suara di
tingkat pertama menjadi tidak berarti manakala sudah dihadapkan pada keputusan
ditingkatan senat. Hal ini terbukti dengan hasil yang didapatkan pada
penjaringan tingkat pertama didominasi oleh perolehan suara Dr. Ir. Nuhfil
Hanani Ar, MS yaitu 81 suara dan Prof. Ir. Sumeru Ashari, M. Agr. Sc. PhD 58
suara. Namun, hasil akhir berubah drastis pada keputusan senat, yaitu
dimenangkan oleh Sumeru yang unggul dengan perolehan 23 suara dari Nuhfil yang
hanya 18 suara.
Drs. Tjahjanulin Domai, MS
selaku pembantu rektor III mengungkapkan bahwa pelaksanaan demokrasi di kampus
Universitas Brawijaya masih belum mencerminkan demokrasi yang sebenarnya,
dimana demokrasi itu sendiri adalah bersifat terbuka. Hal ini terjadi juga pada
proses pemilihan rektor beberapa waktu yang lalu. “Demokrasi di kampus kita tidak
sehat. Karena pada suara penjaringan rektor ataupun dekan, jumlah suara dari
mahasiswa, karyawan, dan dosen dibatasi. Dengan adanya pembatasan ini,
masalah-masalah demokratisasi itu belum berjalan dengan benar” tambahnya.
Ajang pemilihan dekan yang
dilaksanakan pada tanggal 23 hingga 30 Desember 2006 lalu, dirasakan sangat
tidak efektif dimana pada waktu tersebut mahasiswa dalam kondisi libur pekan
sunyi menghadapi ujian. Lebih lanjut tentang sistem pemilihan dekan, Baiatur
Ridwan, mahasiswa jurusan Budidaya Pertanian mengeluhkan “Kurang fair karena
buat apa masukan dari bawah tetapi ujungujungnya diatas masih ada mekanisme
lagi yang lebih tertutup dan katupnya lebih rapat, kalau seperti itu percuma
saja menjaring suara dari bawah.”
Perguruan tinggi yang ideal pada
dasarnya dituntut pula untuk mampu melaksanakan demokratisasi pada lingkungan
internalnya. Tjahjanulin menambahkan bahwa di dalam demokrasi itu terdapat tiga
hal penting meliputi keterbukaan, kejujuran, dan transparansi. Karena dalam
demokrasi itu sendiri, kepentingan rakyat lebih diutamakan.